Senin, 12 Januari 2015

RESENSI THE ALCHEMIST (1)

HIDUP YANG TAK BIASA
Kebanyakan orang—jika bukan semua—telah menjalani hidup untuk dirinya sendiri; lahir, belajar, bekerja, tua, dan mati. Barangkali rumusan seperti itu sudah diketahui hampir semua orang. Jika hidup dibangun dengan kesungguhan, dan pada akhirnya kita akan mati, lantas untuk apa gerangan kehidupan itu? Keadaan yang seperti ini diperparah dengan pengetahuan kita tentang kematian, bahkan sebelum kematian itu datang.
Saya, dan kita semua mengetahui hukum-hukum moral yang menjadi batasan bagi tindakan kita, melalui agama dan kitab sucinya. Para Imam, guru-guru bijak, dan pendeta telah mengabarkan bahwa hidup akan segera berakhir. Apa yang abadi tak lain adalah keabadian itu sendiri; barangkali melebur ke dalam keabadian adalah pilihan yang terbaik. Jika tidak, maka segera mungkin kita merasa enggan untuk hidup; toh pengakuan terhadap kefanaan adalah keniscahyaan.
Puluhan, ratusan, ribuan, bahkan lebih dari 2/3 penduduk bumi setiap pagi akan bangun untuk mempersiapkan dirinya menghadapi hari-hari yang segera mungkin akan berlalu. Beberapa beranjak dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar mandi, beberapa yang lain bermalas-malasan enggan bangun pagi, dan menunggu panasnya matahari membakar punggung mereka, dan yang lain bergegas untuk menghadapi hidup guna meraih keinginan-keinginan mereka.
Mereka yang pantas mendapat apresiasi adalah mereka yang penuh semangat menghadapi hidup, dan yang bermalas-malasan, barangkali hidup telah berakhir baginya. Mereka yang bersemangat akan bertindak sesuai dengan batas-batas keinginan mereka, dengan acuan kemana hidup akan dibawa. Sedang mereka yang bermalas-malasan, akan tetap mati ditengah hidup yang benar-benar berwarna; ada dua kemungkinan untuk orang semacam ini: pertama, mereka tak lebih dari mayat yang tidak benar-benar hidup. kedua, mereka adalah orang-orang yang seluruh keinginannya telah tercapai.
Kita tak perlu mempersoalkan yang bermalas-malasan. Baik yang pertama atau yang kedua, toh akan segera di-geser—baik dengan baik-baik atau secara paksa—dari kehidupan.
Sedang mereka yang menghidupi seluruh diri dengan kehidupan untuk mencapai keinginan mereka, akan melakukan banyak hal. Mereka akan memberi warna diatas bumi. Mereka adalah pena-pena yang bergerak secara teratur, untuk menulis diatas sebuah kertas yang memang sudah penuh warna. Sialnya, pena-pena itu sama sekali tidak memberikan warna baru; mereka malah mengeruk warna yang sudah ada, menghisap tinta-tinta semesta, dan tanpa sadar, jika warna-warna itu selalu diambil oleh pena-pena yang dipenuhi keinginan, barangkali pena-pena pun akan ikut punah bersama semesta.
Tapi tak jadi soal. Toh beberapa yang lain memiliki keinginan untuk mengembalikan warna yang telah diambil saudara-saudaranya. Mereka adalah orang-orang arif yang di saat diam pun telah memberi warna baru. Ketika mereka berbicara, kata-katanya penuh makna; kata-kata akan segera hilang, tapi makna dan pelajaran akan abadi.
Untuk para pejalan yang melintasi jalan hidup dengan biasa, barangkali kata-kata seorang raja yang ditemui santiago (Tokoh utama dalam cerita)  sebelum kepergiannya akan sangat membantu; “Jika kita benar-benar menginkan sesuatu, semesta akan membantu kita untuk mewujudkannya”.
Paulo Coelho telah menyinari hati para pembacanya dengan semangat universal yang telah lama disuarakan alam. Namun dia membuat suara-suara yang tak dipahami semua orang, menjadi mungkin untuk dipahami. The Alkemi, bercerita tentang bagaimana mewujudkan keinginan-keinginan kita di dalam hidup. Walau diakhir, mungkin Santiago akan segera bertanya; “Apa yang sebenarnya Aku inginkan?”.
Gembala Yang Menjadi Domba
Santiago adalah gembala yang ulet—sebagaimana kita, telah menjalani kehidupan setekun mungkin. Ia memilih menjadi gembala karena mencintai petualangan, kita pun tak berbeda; kita menginginkan hari demi hari menjadi berbeda. Sayangnya, keinginan seperti itu telah didapatkan seorang gembala, sedang kita yang bergaul dengan kursi dan meja, pena dan kertas, mesin-mesin industri, gedung-gedung tinggi, hampir setiap hari, hidup terasa sama.
Anak gembala itu berjalan menyusuri padang-padang rumput, menjelajahi semua tempat yang mungkin dijelajahi untuk memberi makan domba-dombanya. Ia berjalan sendiri—domba-domba bukan “Diri”—mengitari alam, bersama semangatnya. Hingga suatu waktu, ia menemukan seorang gadis yang jelita; anak dari seorang pembeli wol. Memang menjadi rutinitas gembala untuk menjual wol yang mereka dapat dari ternak-ternaknya. Kita pun tak berbeda; kita semua terbiasa memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis, untuk menyambung kehidupan yang sebagian besar orang masih bertanya-tanya, Untuk apa gerangan?
Santiago, merasa hidup telah berubah. Ia menemukan kecantikan; bukan “Cantik yang biasa”. Segera mungkin bayang-bayang untuk menetap disuatu tempat, hidup bahagia bersama gadis ini terlintas dikepalanya. Ia membayangkan bagaimana jadinya kehidupan bila berteman jelita? Barangkali hidup akan berbeda. Suatu waktu saat menjual wol nya, ia bercerita banyak bersama gadis itu. Menceritakan hari-harinya yang luar biasa, petualangan tiada akhir yang ia jalani, dan tentu saja menyembunyikan kepedihan-kepedihan yang tak lagi pedih. Ia berharap gadis itu mau ikut berpetualang. Detik, menit, dan jam-jam telah berlalu, Mentari akan segera menyinari sisi lain bumi, dan si penjual wol memanggil anaknya masuk kerumah, sedang si gembala tak mampu berbuat apa-apa selain membiarkan si gadis pergi memenuhi panggilan ayahnya.
Seperti biasa, setelah seharian penuh menjajahkan kain wol yang secara sukarela diberikan domba kepadanya, ia pergi ke tempat dimana domba-dombanya berada. Beristirahat dari kerja yang seharian penuh merenggut umurnya.
**
Hampir setiap orang bernasib sama dengan Santiago; berjalan diatas jalan kehidupan, dan terkubur diatas jalan yang sama. Pada suatu malam, Santiago masih tak bisa tidur. Ia melihat domba-dombanya yang sudah pulas. Ia sadar, esok hari ternaknya akan bangun diwaktu yang sama seperti pagi tadi. Domba-domba, terbiasa dengan gembalanya; mereka akan bangun sebagaimana gembala bangun.
Sebagaimana kita, Santiago pun memiliki masa lalu. Ayahnya pernah bercerita tentang kastil-kastil mewah di negeri mereka, perempuan-perempuan cantik, dan segala karunia yang telah ditempatkan ditanah mereka. barangkali ayahnya ingin, Santiago bisa hidup bahagia dinegeri ini suatu saat nanti. Tapi anak itu punya keinginan yang berbeda; ia ingin menjadi petualang. Ia melihat orang-orang datang silih berganti, melihat negeri mereka dengan segala kemegahannya; siapa yang tak kenal Spanyol dengan kastil-kastilnya? Bahkan sebelum mesin dan gedung-gedung pencakar langit ada, negeri itu sudah seperti langit. Ia merasa iri dengan mereka yang bisa melihat tanahnya, sedang dirinya tak mampu melihat negeri orang-orang itu.
Santiago tidak lahir dari kalangan berada, ayahnya mengatakan bahwa “dikalangan kita, hanya gembala yang biasa bepergian” dan “Aku ingin menjadi gembala” katanya dengan yakin. Seorang ayah, hanya bisa memenuhi ingin-ingin anaknya sesuai dengan kemampuannya. Hanya 3 koin emas yang menjadi bekal Santiago, dan ia pun menjadi gembala.
Barangkali beberapa dari kita hanya memiliki bekal minim untuk menjalani hidup. Tapi hidup tetap memaksa kita untuk berjalan; bahkan jika kita tak berjalan, toh kehidupan akan terus berjalan. Sialnya, kita berada di dalam roda kehidupan itu. Berputar bersama, bergerak ke arah mana kita akan dibawa.
Santiago masih tak bisa memejamkan mata. Ia merasa rindu dengan gadis kota itu. Tak apa Santiago... tidurlah! Sebentar lagi kau akan bertemu dengannya.
**
Larut dalam kebiasaan—atau apa yang disebut Jostein Garder dengan tenggelam dalam bulu-bulu kelinci yang nyaman—mungkin akan membuat kita menjadi diri yang biasa. “Kita adalah apa yang kita perbuat” atau “kita adalah apa yang biasa kita lakukan”; barangkali seperti itu. Setelah itu, secara alamiah masyarakat akan memberikan “Cap” melalui ego mereka, dan tentu saja kepada ego kita. “Anda seorang Nelayan” karena kita mengisi hidup dengan memancing. “Anda seorang petani” karena kita mengisi hidup dengan bertani. Anda seorang “Pelajar” karena kita mengisi hidup dengan belajar. Terlepas dari kebiasaan, sebenarnya siapakah kita?
Santiago seorang pengembala yang menghabiskan hidup mengembalakan domba-dombanya, tanpa sadar ia telah menjadi kawanan domba. Ia hanya sekedar satu dari puluhan domba yang menempati posisi pimpinan domba. Ia hanya satu dari sekian banyak domba yang terbiasa mengisi perut, membuangnya, lalu tidur, dan pada akhirnya satu-persatu akan digeser dari kehidupan. Untuk apa santiago ada? Sekedar untuk menjadi pimpinan domba?
Kita akan segera terhenyak ketika diberitahu tentang perbendaharaan yang dipenuhi kekayaan. Setiap kita diciptakan untuk menemukannya. Seorang anak gembala hampir tak percaya ada sesuatu yang seperti itu. Ia menemui ahli perbintangan dan para peramal untuk mencari informasi mengenai harta itu. Namun informasi yang diterima tak lebih dari sesuatu yang lumrah telah diketahui. Jika hanya untuk informasi yang seperti itu, aku tak perlu menemuimu. Begitu ucapnya kepada seorang peramal. Sebagaimana Santiago, kita pun sering lupa bahwa harta yang paling berharga sering terletak ditengah kesederhanaan.
Seorang Raja dari Salem lah yang telah membukakan jalan baginya untuk menempuh perjalanan panjang menuju harta karun itu. Ia membeli seluruh domba Santiago, dan uangnya adalah bekal awal untuk melakukan perjalanan. Bukankah menjual domba adalah solusi yang pasti lebih dulu dipikirkan Santiago ketimbang Raja itu?; pastinya seperti itu. Namun ketakutan-ketakutan, pertanyaan-pertanyaan, dan serangkaian pikiran-pikiran yang tak pantas untuk dipikirkan membuatnya enggan untuk mengambil langkah. Seorang Raja lah yang membantunya melangkah.
Hati adalah Raja bagi diri yang ringkih. Ia mengabarkan sesuatu yang layak didengar. Ia menundukkan kesombongan dibawah pengetahuan. Hati, lebih dari seonggok daging memampukan kita untuk melangkah; lebih dari sekedar memikirkan beberapa hal yang tak penting.
Keluar dari zona yang biasa, menuju dataran arab yang keras. Ia menemukan hal-hal luar biasa ditengah jalan. Ketika sampai disebuah kota, ia menanyakan perihal jalan untuk sampai ke mesir. Tapi kali ini keberuntungan tak berpihak padanya. “Perampokan” yang telah menghabiskan seluruh bekalnya; hambatan, atau sekedar persiapan?
**
JANGAN LUPAKAN PERBENDAHARAAN ITU!
Kita boleh melakukan koreksi atas perjalanan hidup yang singkat ini. Bahkan kita lah yang paling berhak atas itu. Hambatan demi hambatan telah mendatangi kita ditengah perjalanan, dan sialnya banyak dari kita yang berhenti. Meninggalkan pencarian, dan merasa nyaman tinggal bersama hambatan. Toh pada akhirnya pikiran kita beralih pada sesuatu yang dinilai lebih penting. Lebih penting? Adakah yang lebih penting dari perbendaharaan itu? Adakah yang lebih penting ketimbang jawaban atas tanya, “Mengapa  aku diciptakan?”.
Seorang anak yang tersesat ditengah-tengah kesusahan dengan sesuatu yang membebani hidup, harus tinggal disebuah daerah yang bahkan bukan tanah kelahirannya. Bulan demi bulan berlalu, barangkali ia lupa apa tujuannya datang kemari. Berpikir ini adalah tujuan? Mesir masih sungguh jauh bukan?
Seorang pedagang memberinya makan, menghidupinya dengan gaji yang tak kecil: tentu bukan tanpa alasan—pedagang itu sadar bahwa Santiago datang dengan baju berkah. Kedatangan Santiago seiring dengan bertambahnya rezeki si pedagang. Pendapatan meningkat, popularitas didepan mata, kehidupan mendukungnya. Ini karena Santiago.
Hingga suatu hari si pedagang bercerita tentang harapannya yang tak pernah tercapai; pergi ke mekkah, tanah suci yang dikunjungi setiap Muslim di dunia ini. Santiago terhenyak, terbangun dari tidurnya. Ia masih punya sejuta mimpi yang harus dijemput di mesir. Tak mudah meyakinkan diri untuk melangkah—banyak suara yang didengar, banyak jeritan yang keluar dari dalam diri. Apakah Santiago harus pulang ke andalus? Atau melanjutkan perjalanan ke mesir?

Sekarang ia punya banyak uang seperti mula-mula keberangkatannya. Tapi ingin-nya tak lagi sekuat dahulu. Waktu memakan habis harapan, menjemput duka atas datangnya semu, membalut luka dengan darah yang terus mengalir. Bukankah hidup selalu seperti itu?

SAJAK-SAJAK UNTUK PILAR: Suara tangis dari tepi sungai Piedra


Langit menjadi saksi atas kalut dan getir yang kau rasa. Duduk dan tangismu adalah curahan karunia atas aliran air di sungai piedra. Bahkan, tanah tepian sungai itu kini ditumbuhi berkat-berkat Ilahi. Ucapanmu yang sungguh puitis lenyap-hilangkan ketenangan dan keceriaan hati siang itu; “Mungkin Cinta membuat kita menua sebelum waktunya—atau menjadi muda, jika masa muda telah lewat”.
**
Kau, Aku, dan mungkin seluruh manusia, pernah mendengar suara itu. Pada mulanya, kita tak pernah tahu—apakah panggilan dan larangan yang dikandungnya benar-benar nyata. Kita tak pernah menyangkalnya. Toh kita sadar—meski dalam keraguan—suara itu ada; entah nyata atau ilusi. Perlahan, suara itu arahkan kita pada banyak hal yang tak logis; tepatnya tak sama dengan yang diajarkan sekolah-sekolah kepada kita. Dan saat seruan tak lagi mampu dicerna, banyak yang meninggalkannya. Bahkan lupakannya menjadi hal terbaik sepanjang kegetiran di dalam buaian mimpi. Kini, aku tau; penyesalan telah jemput taqdirku.
**
Mesin-mesin industri telah lama gantikan cangkul dan palu. Gedung-gedung menjulang tinggi, mencapai angkasa, angkuh dihadapan langit yang bahkan tak jua dicapai. Polusi, pun gantikan udara segar yang Tuhan karuniakan kepada kita. Setelah semua ini, bagaimana mungkin kau masih mengharapkan hal itu? Aku sadar betul, Dia punya banyak wajah. Namun saat kau ungkap kecantikan, dan keanggunanNya, jangan pernah harapmu tumpul. Jangan pernah surut langkahmu. Karena Ia, juga Wanita. Kau tak salah ucap; “Semua kepercayaan besar—Yahudi, Katolik, dan Muslim—bersifat Maskulin. Para pria lah yang mengendalikan dogma, mereka menciptakan hukum dan peraturan, dan biasanya semua imam laki-laki.” Tetaplah percaya pada sisi femininNya.
**
Kau tahu tentang ucapan wanita itu? Ia menceritakan siklus hidup. Sebuah taqdir kekal yang liputi kita semua; lahir, tumbuh, berkembang, tua, dan mati. Ini lah kuasa atas kuasa. Ini lah Rahmat di atas Rahmat. Bukankah datang berarti kembali?
**
Pilar, inginkah kau dengar bujuk rayuku? Bukan sesuatu yang muncul dari kegundahan menyaksikanmu. Jauh melampaui itu, aku terkesima pada langkah awalmu. Dalam Tradisiku, kami kenal pepatah; “Rumahku, Surgaku”. Dan wanita itu, bercerita tentang Rahim Bunda. Dan kalian para wanita, tubuh pun ikuti irama bulan. Lemah bukan berarti tiada daya. Namun memang alam gariskan Surga sebagai lahan kerja bidadari. Bukankah cerita kalian tentang Surga pantas kami dengar setiap hari?
**
Air dan tanah bentuk kehidupan abadi; kalian adalah air, sedang kami—para lelaki—adalah tanah.
**
Jangan bicara begitu! Bukankah tempat asal selalu dirindu? Bukankah ia adalah bagian dari kenang yang tak luput? Masa lalu pasti berarti. Rumah yang ditinggal, pasti harapkan mu tuk kembali.
**
Wanita yang terbiasa dengan gedung dan mesin-mesin industri, telah melupakan panggilan batinnya. Diberkati lah kau, yang bersama dengan rumput-rumput hijau juga sapi dan gembala. Diberkatilah kau yang masih mendengar suara hatimu.
**
Bicara tentang kemurnian, tentu ia sesuatu yang baik. Bukankah segalanya bermula dari kebaikan? Hari pertama..., Bapamu melihat kebaikan. Hari selanjutnya, saat terang dan gelap di pisahkan, Bapamu pun melihat kebaikan. Selanjutnya, Air dari darat, itu pun kebaikan. Sampai hari yang ke-tujuh, segalanya masih baik. Kita lah yang merusak kemurnian. Menggoreskan luka dalam yang juga teriakan rasa sakit.
**
Orang-orang yang mencoba membunuh raga melanggar aturan Tuhan. Yang mencoba membunuh jiwa juga melanggar aturan Tuhan. Kita tak pernah bisa pisahkan bentuk dari isi. Toh bentuk tak kan berarti jika tak diselami, dan isi tak kan bertahan tanpa bentuk. Kini, kita hanya diperintah tuk lampaui bentuk.
**
Kita kehilangan kontak dengan kehidupan. Manusia terasing dari bumi. Seorang ayah, terasing dari keluarga. Kita semua adalah orang asing. Mesin-mesin telah gantikan peran kita. Gerak tak lagi penting; karena apa yang dianggap penting adalah menciptakan gerak. Ini pembunuhan! Dan kita adalah tersangka yang juga korban.
**
Mata rantai penghubung tak pernah sebatas “hanya”. Bahkan, saat kita berharap tuk kembali, ia adalah segalanya. Ia adalah apa yang hantarkan kita pada permulaan yang juga tujuan.
**
Yang menemukan Cinta pastilah orang gila. Karena mencintai berarti kehilangan kendali.
**
“Cinta adalah perangkap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya.” Kecurigaanmu tak dangkal, namun salah. Domba-domba pun mencurigai gembala, sebagaimana mereka mencurigai serigala. Jangan kira Cinta punya sisi gelap, karena ia adalah terang itu sendiri. Mata kita lah yang selalu melihat gelap.
**
Ada orang-orang yang harus berdebat dengan orang lain, kadang-kadang bahkan dengan diri dan kehidupan mereka sendiri. Karenanya, mereka mulai menciptakan sebuah sandiwara dibenak mereka, dan menuliskan skenarionya berdasarkan perasaan frustasi mereka.”
**
Ya! Mimpi selalu butuh nafas. Dan mimpimu, butuh nafasmu. Hanya kau yang tahu bagaimana untuk terus hidupkan mimpimu. Namun kau keliru jika menganggap mimpi adalah rekayasa yang kau buat untuk kesenangan. Mimpi, adalah karunia yang bahkan hidupkan dirimu.
**
Bunda adalah pengantin dan mempelai kosmik. Ia ciptakan sebuah generasi baru; generasi yang tenggelam di dalam cinta, hidup, dan melebur bersamanya. Pada akhirnya, generasi itu adalah Cinta.
**
Kabut, tipis atau tebal, adalah air. Ia tak pernah tutupi keindahannya, karena indahnya telah tutupi selainnya. Air telah merahmatkan hidup. Mengaruniakan ketenangan dan kebahagiaan. Mengobati dahaga saat diri merasa gundah. Air, disebut di Genesis—sebuah permulaan dari Rahmat Ilahi—“Ketika Roh Allah melayang-layang diatas air..., dan di akhir dari Wahyu, “Roh dan pengantin perempuan itu berkata, Marilah! Dan barang siapa yang mendengarnya, hendaklah ia berkata, ‘Marilah!’Dan barang siapa yang haus, hendaklah ia datang, dan barang siapa yang mau, hendaklah ia datang mengambil air kehidupan dengan Cuma-Cuma”
**
Pilar! Aku mengenalmu, seperti aku mengenal diriku. “Cinta memiliki suaranya sendiri, dan berbicara untuk dirinya sendiri.”; begitu kau berucap. Kau tahu, Sang Alkemi pernah berkata-kata tentang sesuatu yang mirip; “Pada Hakikatnya, segala sesuatu adalah satu”.
**
Gelap memang bukan terang. Namun keduanya adalah satu dalam perbedaannya. Jika tak ada gelap, bagaimana akan ada terang? Satu hal yang penting dari gelap dan terang tak lain adalah Cinta. Orang-orang tahu, bahwa Cinta akan membawa seseorang ke suatu tempat. Ke sebuah taman, atau gurun kesengsaraan. Entah ke neraka atau Surga, Cinta selalu membawa kita kepada hal yang baru.
**
Sebuah pesan penting yang harus kau dengar; saat gedung dan mesin-mesin telah gantikan keserasian, orang-orang enggan menerima Cinta. Ini karena pepohonan dan rumput-rumput tak lagi berkata-kata. Ini karena suara sumbang yang terdengar dari segala yang baru. Ini karena Cinta tak lagi melihat kita. Semoga, berkat ilahi tercurah kepadamu wahai kasih.
**
Kita semua memang harus kembali ke tempat asal. Jika kita enggan, sesuatu akan bantu kita tuk kembali. Kemarin, saat aku duduk di atas altar gereja, aku melihat lukisan Sang Bunda bersama dengan putra kecilNya. Sepintas, terlihat Bunda sedang menggendong anakNya. Padahal kalau mata lebih jelih, Yesus lah yang mengangkat Bunda; Satu TanganNya berada di punggung Bunda, dan yang lain, menunjuk keatas. Yesus membawa Bunda ke langit. Mengembalikan Sang Bunda ke pangkuan mempelaiNya.
**
“Iman Sekecil butiran pasir pun akan memampukan kita memindahkan gunung.” Se-dari dahulu, aku mencari Iman di tempat-tempat dimanapun aku bisa. Aku mencari kejutan-kejutan baru, yang dibicarakan orang-orang. Aku mencari Tuhan, di luar diriku; padahal kejutan terbesar di dalam hidup adalah diri sendiri.
**
Sungguh bodoh! Aku dan teman-temanku bertamasya ke taman main anak-anak. Disana, kami lihat sebuah loudspeaker yang mengeluarkan suara. Teman-temanku terkesima melihatnya; mereka berkata bahwa benda mati itu lah yang bersuara. Sungguh bodoh orang-orang yang mengatakan benda mati telah berbicara.
**
Diberkati lah kalian yang memberikan tubuh kepada Tuhan. Membiarkan Tuhan bekerja melalui Tubuh kalian.
**
Seorang manusia yang bimbang tak dapat menghadapi kehidupan dengan penuh martabat.
**
Seorang filusuf besar—Descartes—pernah berkata, “Keragu-raguan adalah jalan menuju kepastian”. Bagaimana mungkin kita akan membangun rumah di atas pondasi yang rapuh? Bukankah semuanya akan hancur sebelum kita memiliki rumah?
**
Bertahun-tahun aku melawan hatiku, karena takut mengalami kegetiran, penderitaan, dan ditinggalkan. Namun kini aku tahu cinta sejati berada diatas segalanya, dan lebih baik mati daripada gagal mencintai.
**
Memang berat menggapai Kasih. Sebuah kacang polong pun harus mengalami penderitaan sebelum ia siap untuk dimakan. Tapi betapa banyak orang yang tak hargai Cinta? Betapa banyak orang yang tinggalkannya demi kesenangan semata? Kita harus siap atas segala hal; kesendirian, kegetiran, dan rasa sakit. Betapa pun resiko yang harus dibayar, Cinta sungguh berarti.
**
Betapa kita selalu berlari dari resiko-resiko yang ada. Menerima Cinta, mungkin seperti dipaksa menuju lantai 100 dari sebuah bangunan; ketika kau gagal, itu artinya melompat. Dan jika kita menolaknya, itu berarti hanya sampai di lantai tiga; toh tidak ada hidup tanpa resiko. Bukankah sama sakitnya, entah itu melompat dari lantai tiga, atau seratus? Barangkali seperti itu.
**
Cinta selalu butuh keberanian. Jika masih ada rasa takut, itu berarti kita tidak sungguh-sungguh mencintai. Jika kita benar-benar menginginkan sesuatu, alam akan membantu kita. Jika kita inginkan Cinta, Cinta akan nyatakan dirinya. Dan jika seseorang benar-benar mencintai kita, itu artinya semua orang mencintai kita. Memang butuh lebih dari keberanian untuk mengakui hal ini.
**
Kita adalah bagian dari mimpi-mimpi Tuhan, dan Ia ingin mimpiNya bahagia. Jika kita mengetahui bahwa Tuhan menciptakan kita demi kebahagiaan, kita harus menganggap segala sesuatu yang mendatangkan kesedihan dan kekalahan adalah ulah kita sendiri. Itu lah alasan kenapa kita selalu membunuh Tuhan, entah diatas kayu salib, dengan api, lewat pengasingan, atau di dalam hati kita sendiri. Manusia memang kejam.
**
Pilar, Kini aku menarik diri dari keramaian. Bukan karena membencinya, tapi karena kesendirian akan mendatangkan keheningan. Dan aku mencintai apa yang datang. Kau tahu? Aku benar-benar sadar; selama ini tak sesaat pun aku mampu benar-benar beriman. Padahal aku tahu apa itu iman.
**
Saat berbicara tentang jiwa dunia, orang-orang menertawakanku. Mereka mengatakan bahwa aku tak lebih dari seorang penyair bodoh. Seorang penyair, yang sama sekali tak mengerti tentang jiwa. Aku tak tahu, aku tak mengerti; siapa yang sebenarnya bodoh?
**
Banyak orang yang berbicara tentang ilusi. Tentang gedung-gedung tinggi pencakar langit, pabrik yang hasilkan polusi dan limbah, uang yang tak lain hanya kertas-kertas murahan, atau kertas-kertas saham yang selalu menjadi taruhan bagi sebuah bangsa. Aku tak mau mendengarnya, aku takut menjadi gila.
**
Kebahagiaan macam apa yang kita cari di dunia ini? Lagipula, dunia telah menjadi kesengsaraan; sebuah rong-rongan baru bagi kesedihan dan penderitaan. Lantas, apa lagi?
**
Banyak orang yang mencari keajaiban diantara kerumitan. Mereka lupa, bahkan hal yang paling luar biasa, berada ditengah-tengah kesederhanaan.
**
Semua manusia adalah petualang. Namun tak banyak yang mau menerima petunjuk. Wajar, bila tak sedikit yang tersesat.
**
Aku ingin sepertimu. Menjadi pencari yang diberkati. Yang Di Cari telah hadirkan diriNya dihadapanmu. Lalu, aku pun cemburu.
**
Betapa lama aku mengagungkan kemurahan Tuhan. Menyanjung dan memuji-mujinya, seraya mengukuhkan jawab atas tanya; “Apakah aku murah hati?” mana yang lebih murah hati; yang menerima kemurahan, atau yang memberi?
**
Menyatakan diri berjalan diatas jalan yang benar? Aku kira tak masalah. Menganggap hanya jalan kita yang benar? Ini keangkuhan, ini pembunuhan!
**
Kehidupan telah ada sebelum kita dilahirkan, dan akan terus ada setelah kita meninggalkan dunia ini. Begitu pula Cinta; Cinta telah ada sebelumnya, dan akan berlangsung selama-lamanya.
**
Cinta tidak berubah, manusia lah yang berubah.
**
Pilar! Mengapa kau tak pulang? Mengapa malah tangisi kepergian? Mengapa kau menunggu jawab atas tanya yang tak pasti? Saat luka-luka tak lagi terobati, apalagi yang kau tunggu? Masih sanggupkah bertahan ditepi sungai kesengsaraan ini?
Pagi ini, angin sejuk tiupkan rindu padamu. Bisikkan Cinta, yang kau pilih. Singkirkanmu dari kebiasaan lama terkutuk itu. Santai saja! Tangismu bukan kutukan, pedihmu bukan kesengsaraan. Ia, bagian dari derita yang jeritnya tak terpahami. Ia, tak lain adalah bahagia yang tertunda.
Aku mematut-matut diri, agar kasih sampai siang ini. Duduk, bersama harap yang tak juga nyatakan dirinya. Memaki-maki kesalahan tempo lalu, untuk jemput ingatku padamu.
Kau tahu? Bodohnya aku saat tak raih cintamu. Aku masih mencaci-maki diri atas kesalahan itu. Masih seperti itu.
Jangan marah lagi sayang..
Jangan lagi! Tahan lah amarahmu, redam lah sengsara di dalam batin. Buang, biar ia pergi bersama derasnya alir air sungai. Kau dengar gemercik air di antara bebatuan? Jika dengar, dekap lah aku...
Dekap aku sayangku...
Semesra dekapmu dahulu diranjang kamar tidurmu. Seperti saat kita sebut-sebut nama Tuhan di dalam Rindu dan Cinta. Seperti saat kita berdzikir malam itu. Kau memelukku, aku menciummu. Bukankah sakralnya Cinta telah kalahkan tumpukan berlianmu? Bukankah ia lebih hangat ketimbang sinaran mentari pagi?
Mari sayang..., mari!!
pantaskah ku persamakan saat itu dengan tarian Rumi? Atau seperti gubahan Syair-syair Fanjavi?
Kau tahu sayang? saat suara-suara getir bertanya tentang abadimu dan cahayamu, harus kemana ku arahkan mereka? ke tepian sungai Piedra? Atau ke Sain Savin, tempat dimana Cinta kita tegak?
Ku lihat peta, tak ku temukan juga tempat dimana mereka tak gapai mu. Aku takut. Aku takut. Kini, aku lah yang rasakan getir. Aku tahu! Cahaya itu tak lain dari karunia Firdaus. Sebuah tempat dimana adam temukan keabadian. Kini, itu milikmu.
Esok, saat matahari tenggelamkan gelap, mau kah kau maafkanku atas salahku? Semoga!

Saat aku masih punya arti dalam hidupmu, semoga rumput-rumput hijau tak menguning. Ku harap, buah-buah para petani tumbuh subur, secerah Cintaku padamu. Pesonamu, masih getarkan jiwa. Masih memesona alam raya.


Rabu, 15 Januari 2014

REALITA KEBERAGAMAAN: KRISTEN

a.  Kristus dan Perdebatan Teologi
Pada tahun 320 M. Mesir, Siria, dan Asia kecil menjadi tempat yang hangat dan bernuansa Polemik. Ketuhanan, dan Realitas Kemanusiaan dibicarakan oleh semua orang dari berbagai kalangan. Gereja, dan institusi pendidikan menjadi central pengkajian dan pemutusan perkara perdebatan. Arius, seorang pembaharu dizamannya melontarkan satu pertanyaan kepada sang guru. Ia menanyakan tentang: Apakah Yesus adalah Tuhan?, atau ia hanya seorang manusia biasa?. Pertanyaan Arius bukan saja didasarkan kepada realitas keTuhanan yang sedemikian Transenden, yang dengan begitu setiap orang berhak memiliki spekulasi pribadinya masing-masing. Lebih dari itu, ia mempertanyakan keTuhanan Yesus dan relasinya dengan kosmologi, dan seluruh ajaran bibel.
Arius, adalah seorang terdidik yang menguasai bibel. Ia menyatakan bahwa Yesus sama sekali bukan Tuhan. Karena menurutnya, keTuhanan Yesus sama sekali tidak memiliki relevansi dengan ajaran ajaran dan doktrin Injil. Perdebatan ini membuat seluruh dunia kristen gempar. Meski diketahui bahwa pertanyaan seperti yang dinyatakan Arius, sama sekali bukan hal baru dimasanya, akan tetapi dikarenakan penguasaan Arius terhadap Injil, ia menjadi pendorong dilakukannya suatu konsili di Nicea. Konsili ini juga melibatkan sang kaisar: Kaisar Konstantin, untuk turun tangan dan ikut andil dalam menyelesaikan masalah ini. Seperti yang akan kita lihat dikemudian hari, penetapan Trinitas didalam Agama Kristen sebagai kata kunci, digunakan Max Weber untuk menyatakan bahwa ada Agama yang susunan teologisnya didasarkan pada Kongres.[1]
Arius pada titik tertentu memiliki kesamaan pemahaman dengan pemahaman Teologia Platonis. Ia mengatakan bahwa Yesus bukanlah Tuhan itu sendiri. Dengan ditopang ayat-ayat biblikal, ia mencoba menjelaskan bahwa injil sama sekali tidak menyebutkan “keTuhanan” Yesus. Kalaupun ada, maka Tuhan yang disebut bibel dalam pandangan Arius adalah karena kesucian Yesus dan ketulusan pengorbanannya.
Segala sesuatu dijadikan oleh Dia, dan tanpa Dia tak ada sesuatupun yang dapat terjadi.[2]
Maka dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Arius, dia sama sekali tidak bermaksud untuk menghina Yesus seperti yang disebutkan oleh musuh-musuhnya. Arius percaya bahwa orang-orang Kristen telah diberi kesucian, diselamatkan, serta ikut memiliki hakikat keilahian dalam dirinya. Ini karena seorang Yesus (dalam hal lain disebut logos), telah menjalani kehidupan seperti manusia. Dan disepanjang hidup, ia tunduk dan patuh kepada Tuhan, bahkan hingga kematiannya dikayu salib. Dan karena ketundukannya ini lah, Allah meninggikannya dan memberi sebutan “TUHAN” kepadanya. Arius mengatakan”Andaikata Yesus bukan seorang manusia, takkan ada harapan buat kita. Tak ada yang bisa kita teladani dari hidupnya jika ia adalah Tuhan secara hakiki. Justru dengan merenungkan kehidupannya yang sarat dengan nilai-nilai kepatuhan seorang anak, maka orang Kristen pun dapat menjadikan diri mereka Ilahiah. Dengan meneladani kristus, makhluk yang sempurna, mereka juga bisa menjadi makhluk ciptaan Allah dengan kesempurnaan yang tak dapat diubah dan tak dapat berubah.”[3]
Dikubu lawannya, athanasius memiliki pandangan yang berbeda. Alih-alih mengatakan bahwa Tuhan itu jauh, namun manusia memiliki kesempatan untuk menggapai kecintaanNya, ia lebih memilih untuk tidak optimis terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ia memiliki pandangan bahwa manusia adalah sesuatu yang rapuh, “Kita berasal dari ketiadaan dan akan kembali kepada ketiadaan jika kita berdosa. Oleh karena itu, ketika merenungkan makhluknya, Tuhan melihat bahwa seluruh alam ciptaan jika dibiarkan berjalan dengan sendirinya, akan berubah dan bisa mengalami kehancuran. Untuk menjaga agar alam tidak kembali menjadi tiada, Dia ciptakan segala sesuatu dengan logosnya sendiri yang abadi dan mengaruniakan wujud kepada ciptaan.”[4]
Hanya dengan tunduk dan patuh kepada Tuhanlah manusia bisa selamat dari ketiadaan. Dan karenanya, jika logos juga adalah manusia biasa, maka mengikuti jalannya tidak akan memperoleh manfaat apa-pun. Oleh karenanya, secara singkat dapat dikatakan bahwa ajaran Trinitas yang berkembang selama ini dikalangan Kristen adalah produk dari pemahaman Athanasius. Ini diperkuat lagi dengan julukan “Arius” yang hari ini ditujukan kepada orang-orang Bid’ah. Dan karenanya bermakna “Bid’ah”.
Maka, klaim-klaim Kebenaran yang diajarkan oleh para biblikal hari ini (Ajaran biblikal, sesungguhnya bagian dari penafsiran para teolog. Dan karenanya, penafsiran itu hanya sebagian kecil dari makna substantif bibel), tidak dapat dibenarkan begitu saja tanpa kritisi yang mendalam dari berbagai aspek. Dan dapat dipahami, bahwa tanpa kritik yang baik, Dunia Kristen(Dunia Barat), tidak akan mengalami kemajuan tanpa sebuah kritik dari berbagai kalangan.



b.  Mencari Tuhan sebagaimana adanya
Tuhan jika ditinjau dari aspek teologia, akan membawa banyak perdebatan. Berbagai spekulasi bermunculan dari para ahli. Tak pelik, masyarakatpun menjadi bingung untuk mencari kebenaran sejati. Teologi pada dasarnya memang merupakan ilmu yang mengkaji tentang keTuhanan, namun untuk mencapai keTuhanan, Teologi menggunakan relefansi antara Rasio dan Al-Kitab. Seperti yang diketahui oleh berbagai kalangan teolog, Agama tidak saja mengandung unsur keduniaan, lebih dari itu, pernyataan pernyataan Kitab Suci, menggambarkan aspek spiritualitas, dan bahkan eskatologi. Oleh karena itu, jika pun Teologi dijadikan epistemologi untuk mencari Tuhan sejati, Teologi tidak dapat mengklaim dirinya sebagai yang paling layak. Itu karena Teologi hanya alternatif(kalau tidak sama sekali) dari berbagai pilihan epistemik lainnya.
Belakangan, parenialis seperti John Hick, dan bahkan Karen Armstrong,[5] menggambarkan satu bentuk keTuhanan yang sejati. Masing-masing mereka menyatakan menjaga perdamaian Dunia jauh lebih penting ketimbang mempertahankan pendapat untuk perpecahan yang berkelanjutan. Lebih ekstrem lagi, John Hick mengembangkan satu bentuk Pluralisme yang baru. Ia bahkan meyakini bahwa kemungkinan kebenaran Agama lain selain Kristen, sangat memungkinkan. Kemungkinan ini diperkuat dengan bukti bahwa pengalaman spiritual yang dialami setiap orang dari berbagai Agama.
Karen Armstrong menyatakan: “Kaidah emas berarti melihat kedalam hati kita sendiri, menemukan apa yang membuat kita tersakiti, dan kemudian menolak dalam keadaan apa-pun, untuk menimbulkan rasa sakit itu pada orang lain”. bisa dikatakan bahwa Agama yang dikembangkan oleh Karen Armstrong, dan pastinya dengan perspektif yang dibangun diatas pondasi kekristenan, merupakan Agama kemanusiaan yang pantas diterapkan dizaman ini. Compassion ini juga terbilang sebagai penguat bagi para pendahulunya seperti “Agama Cinta”, sebuah Mahakarya dari seorang John D. Caputo. John D. Caputo, menamakan ajarannya sebagai Agama tanpa Agama. Dikarenakan Agama yang dikembangkan dalam karyanya, terlihat seperti tidak bersinggungan dengan bibel, dan karenanya lebih mengandung aspek-aspek kemanusiaan yang memang menjadi kebutuhan Dunia hari ini. Ya!, sebuah Dunia yang sedang mengalami krisis kemanusiaan, dan krisis moral.
Aspek parenial yang dapat ditemukan dalam ungkapan Karen Armstrong,: “Kaidah Emas membutuhkan pengetahuan diri. Yaitu, meminta kita menggunakan perasaan kita sendiri sebagai panduan untuk memperlakukan orang lain”.[6] dalam hal ini, dibutuhkan sebuah kekritisan yang mendalam tentang suatu perintah Gereja yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, atau sebuah penafsiran-penafsiran radikal yang diklaim sebagai wujud sempurna dari penafsiran biblikal. Jika tidak mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan, atau bahkan sebentuk pluralisme Religius, Agama mapan akan menjadi sebuah momok menakutkan bagi dunia modern. Jika radikalisme dipandang sebagai penafsiran universal atas bibel, maka konsekuensi yang diterima dikemudian hari memiliki kemungkinan sebagai berikut:
-      Agama dijauhi dan menyulut Atheisme
-      Radikalisme membuat kerancuan dalam teks bibel yang menyatakan “Cintai tetanggamu seperti dirimu sendiri”.[7]
Dalam hal ini, mengutip pernyataan Fritchouf Schoun[8] yang bermakna Agama sebagai pertemuan antara Tuhan sebagaimana adanya, dan manusia sebagaimana adanya, dapat menjadi landasan keber-agamaan dewasa ini.[9] Maka, Tuhan sebagaimana adanya adalah Tuhan yang bukan sebuah konsepsi atau penafsiran, dan Ia adalah Tuhan itu sendiri. Manusia sebagaimana adanya, adalah manusia yang dengan intelegensi, dapat merefleksikan nilai-nilai Ketuhanan, yang sebelumnya mencapai pancaran ilahiah keTuhanan dengan inteligensinya.
Disini, Fritjhouf Schoun ingin menyampaikan bahwa, manusia yang memiliki intelegensi (Hati), seharusnya mengembangkan Agamanya dalam wilayah “AKU” dan bukan “KAMI” atau “MEREKA”. Dengan begitu, sebuah kedamaian dalam suasana sulit ini dapat terwujudkan.
c.   Bapa, Kristus, dan Al-Kitab: Sebuah manifestasi Cinta Kasih
“Apa yang sebenarnya aku cintai, ketika aku mencintai dikau Tuhanku”. Pernyataan ini sering dikutip oleh John D. Caputo dalam mahakaryanya Agama Cinta. Dengan pernyataan ini, ia menggambarkan sebuah kebingungan yang absolut, namun tetap dibaringi oleh usaha pencarian tanpa lelah. Dan karenanya, Caputo juga menolak Absolutis. Gagasan-gagasan cemerlangnya seputar Agama, memang terlihat sedemikian kabur, sehingga sulit menangkap, setidaknya apa yang dimaksudkannya dalam goresan-goresan tinta diatas kertas tersebut.
Puncak terma dalam buku itu adalah “Agama tanpa Agama”. Gagasan ini dibangun atas dasar pemahaman yang mendalam tentang keberagama-an. Menurutnya, Agama tidak bisa dipandang secara singular (Dan jika pun bisa, tidak ada agama yang pantas mendapat sertivikasi kebenaran). Sebab, Agama tidak bisa dipandang sebagai objek yang berdiri sendiri. Hal ini karena sulitnya mencari satu titik temu dalam pemaknaan Agama jika dibiarkan berdiri sendiri. Dan karenanya, akan ditemukan berbagai permasalahan-permasalahan yang pada dasarnya tidak subtantif. Maka, biarkanlah ia tetap pada dirinya sendiri, dan jikapun bersinggungan dengan realitas kemanusiaan, biarkanlah manusia-manusia itu menjadi bingung.
Kristus (dalam hal ini Yesus, dan bukan Sang Bapa), bagaimanapun (terlepas dari: Apakah ia Tuhan atau hanya manusia biasa), telah menunjukkan satu bentuk spiritual yang sempurna dalam tradisi Kristen. Ia mengilhami ketundukan, kepatuhan, serta kecintaan yang mendalam terhadap Tuhannya (dan karenanya juga kepada seluruh makhluk). Begitupun halnya dengan Sang Bapa. Ungkapan ungkapan seperti “Barang siapa yang tidak mengasihi, maka ia tidak mengenal Tuhan. Karena Tuhan adalah Kasih”, menggambarkan dengan jelas betapa besarnya kedua person (Dengan tidak bermaksud mempersonifikasikan Tuhan) yang merefleksikan suatu bentuk Cinta yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, Al-Kitab menjadi mediasi dalam perpindahan Cinta itu hingga sampai kepada kita saat ini.
Memang benar bahwa, term-term Cinta dalam tradisi Agama, dipandang sebagai gagasan-gagasan yang terilhami oleh kemandegan, dan karenanya anti revolusi. Begitu pun negatifnya cara pandang masyarakat “Beragama” terhadap terma Cinta, toh dalam kehidupan sehari-hari setiap orang merefleksikan kecintaannya kepada sesamanya. Jika kita mendengar seorang Gadis menyatakan bahwa ia mencintai Pria hanya sampai batas tertentu, ini berarti hubungan mereka tidak akan bertahan lama. Harus dicatat, bahwa Cinta tidak mengenal batasan-batasan yang ditentukan oleh manusia itu sendiri. Dan karenanya, mencintai seseorang haruslah secara total(pasti lebih baik mencintai Yang Total dengan KeTotalanNya).
Maka, dalam menyikapi Radikalis dan Liberalis, Agama tanpa Agama perlu mengambil jalan tengah (Jika masih belum menemukan keyakinan), untuk menyusun kerangka keyakinan yang nantinya akan dijadikan tolak ukur; kepada siapa ia harus berpihak. Jika kaum moderat yang begitu picik memaknai moderat sebagai hanya sekedar jalan Tengah, maka hal ini akan sangat berbahaya dan mengakibatkan penindasan yang berkelanjutan. Selain itu pun, sebuah Agama/keyakinan/kepercayaan, adalah sebuah keberpihakan. Maka dalam hal ini, seseorang dengan “Agama tanpa Agama” haruslah berpihak, setidaknya kepada realitas yang lebih objektif dan yang pastinya yang paling dekat dengan nilai-nilai moral ajaran Agama


[1]. Max Weber dalam buku terjemahan Sosiologi Agama, sering menyebut Agama yang diidentifikasi sebagai Agama Kristen, sebagai “Agama Kongres”. Menurut penulis, penyebutan yang dipakainya ini, disandarkan pada keputusan Konsili Nicea ini.
[2]. Yohanes 1:3
[3]. Arius mendasarkan argumennya pada pernyataanPaulus. Pernyataan paulus ini dikutip dari: Sejarah Tuhan, yang ditulis oleh Karen Armstrong. Hal. 179
[4]. Karen Armstrong, Sejarah Tuhan. Hal. 180
[5]. Penulis tidak bermaksud untuk memasukkan Karen Armstrong sebagai Parenialis. Tapi setidaknya, buku yang berjudul Compassion yang dikeluarkan tahun 2012, adalah sebuah indikasi menuju parenial.
[6]. Karen Armstrong, Compassion. Hal. 85
[7].Imamah 19:18
[8]. Lihat Understanding Islam. Hal. 1
[9]. Meski pernyataannya ini ditujukan untuk Islam. Pluralisme Religius yang dikembangkan John Hick dalam tradisi ini membenarkan untuk mengakui segala proposisi spiritual yang dikembangkan dalam agama mana pun.

PLURALISME: KENISCAHYAAN DAN BUKAN PRINSIP

Pluralisme menjadi wacana hangat beberapa dekade terakhir. Ini bukan berarti Pluralisme wacana baru bagi dunia abad ini, dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Secara Historis, kita semua pernah mendengar serangakaian cerita tentang “Helenisme”. Setelah Scorates, Plato, Aristoteles dan sampailah di Abad keempat SM. Disini dimulai sebuah tantangan baru bagi Moralitas penduduk dunia. dunia menawarkan suatu gagasan penting bagi Makhluk Hidup, dan tentunya dikhususkan untuk manusia.
Ketika Athena mulai mendekati kehancurannya, dan disaat yang sama kota para Filusuf itu kehilangan peran dominannya dikarenakan penaklukan yang dilakukan Alexander Agung (356-323 SM.).


Alexander Agung ini telah melakukan penaklukan atas kerajaan persia. Dia meraih kemenangan besar atas pertempuran itu. Bahkan karena keluasan penaklukan yang dilakukannya, ia menyatukan dunia timur, Mesir, hingga India, dengan peradaban Yunani.
Bayangkan jika penyatuan itu juga menandakan percampuran Budaya, bahkan Agama. Tidak ada lagi dunia yang dibatasi dengan Agama, Budaya, Warna Kulit (kemungkinan). Pada dasarnya, diperiode ini lah manusia sudah mulai belajar untuk menghargai Pluralitas. Percampuran ini berlangsung kurang lebih 8 Abad (Sejak Abad keempat SM – Abad keempat M). tepat pada Abad pertama M. seorang juru selamat lahir di Nazeret. Ia membawa satu gagasan penting tentang Agama. Dan karenanya, ia juga harus rela berbenturan dengan Pemahaman-pemahaman Yunani, India, dan Pemahaman Timur lainnya. Hasil dari gagasan Juru selamat itu pun, hampir mendekati Nihil.


Dan ketika orang-orang membicarakan sang Juru selamat yang kembali Hidup dari kematiannya, St. Paulus menjadi bagian kecil dari orang-orang yang mendakwahi Agama Sang Juru Selamat. Ia bahkan menda’wahkannya sampai ke Yunani. Sebelumnya, diwilayah kekuasaan Roma, Agama Kristen yang dibawa oleh Yesus, ditolak oleh kebanyakan orang. Namun, tak sampai seabad setelahnya, mulai banyak pembangunan Gereja, dan tentunya dengan corak yang berbeda-beda. Maka tidak berlebihan jika mengatakan Kristen sangat rentan bercampur dengan Budaya. Ini karena penyebarannya terjadi di masa-masa Helenisme.


Penyebaran Agama Kristen di dunia belahan barat taampak begitu pesat. Kita tidak pernah mengetahui bagaimana Agama ini mampu tersebar sedemikian cepat. Dan membawa dampak yang juga besar bagi fokus perhatian para pemikir dimasa-masa ini. Penulis, menangkap semacam Indikasi tawar-menawar dalam penyebaran Agama ini. Indikasi ini bagaimana pun, tidak bisa dijadikan Alasan untuk menyerang konsep Keimanan orang-orang Kristen. Dalam relasinya dengan Indikasi ini, itu berarti Agama Kristen tersebar dengan Damai dimasa-masa awalnya. Dan disaat ini pula lah, kita dapat menyimpulkan bahwa Agama Kristen menjunjung tinggi sikap Toleran.


Namun, setelah penyebaran itu berlangsung lama, dan orang-orang mulai menjalani Ajaran-ajara etika Agama Kristen-bahkan memakai Kristen sebagai Sistem hidup berNegara, dunia barat dilanda satu fenomena mengerikan yang saat ini kita mengenal masa itu dengan nama “The Dark Age”. Setelah masa-masa Helenisme selesai, dan dunia kembali dipimpin oleh satu Agama, dengan kekuasaan yang besar, sikap Toleran yang juga berarti mengakui Pluralitas, memudar dari kancah perhatian Dunia.


Kita pernah mendengar pengadilan Inkuisisi yang diselenggarakan Raja Ferdinand, setelah penaklukan spanyol. Kejadian ini juga Indikator hilangnya Pluralisme. Atau kisah tentang seorang pemikir yang meyakini Matahari sebagai Pusat dan dengannya Planet-planet mengitarinya, dihukum oleh Gereja karena diyakini telah melakukan pencemaran Agama. Pada tahap ini, Masyarakat dunia tidak lagi mampu menghargai Keberagaman sebagai sisi kemerdekaan setiap Individu.



Globalisasi dan Masa Pencerahan Dunia Barat (Renaisans)


Renaisans Italia, menandai babak baru bagi Dunia. masa ini menghasilkan banyak pemikir hebat yang mungkin saja kemunculannya dipengaruhi oleh kejenuhan mereka untuk terus tunduk kepada sistem Gereja yang kejam. Akhirnya, orang-orang seperti Voltaire dan Montesquie menggagas sebuah pemahaman baru untuk dunia yang baru. “Demokrasi, HAM, Sekularisme” menjadi fokus utama para pemikir dimasa ini. Tak lama berselang, Revolusi besar terjadi di Dua Negara besar di Eropa. Revolusi ditandai dengan banyaknya mesin mesin Industri yang dikeluarkan, dan menjadi Fokus utama masyarakat Dunia.
Sampai hari ini kita mengetahui bahwa Industri merupakan hal yang memberikan sumbangsih besar bagi kehidupan Masyarakat Dunia. karena pesatnya kemajuan Industri, bahkan Sistem Informasi, dan Transformasi, Dunia menjadi begitu sempit. Bahkan waktu yang merupakan batasan antar penduduk Dunia, bukan lagi masalah yang besar dimasa ini. Begitu pun dengan Jauhnya jarak antara satu tempat dengan yang lainnya pun, mampu dibendung.


“Helenisme” kembali terjadi dengan kemasan yang berbeda. Percampuran Kultur dan Agama pada masa ini, dilakukan dengan Motif yang tidak jauh berbeda dari “Helenisme”. Jika Helenisme ditandai dengan penaklukan Dunia oleh Alexander Agung, maka Globalisasi hari ini ditandai dengan “Imperialisme” dunia barat. Terlepas dari apa-pun motif Imperialisme tersebut, yang pasti hal itu sudah menciptakan Dunia Yang Tanpa Batas.
Beberapa Pemikir besar bermunculan dimasa ini dengan Fokus “Pluralisme”. Bahkan setiap orang dari berbagai Organisasi KeMahasiswaan, merasa berhak mengambil bagian untuk membicarakan hal ini. Hingga masalahnya menjadi begitu Kompleks bagaikan benang kusut yang sudah sangat rumit untuk di-urai. Dalam tulisan ini, Penulis hendak mengurai benang Kusut itu, yang didasarkan pada 2 pertanyaan:
-      
Benarkah Pluralisme adalah hal yang bijak?
-      
Jika ya, Pluralisme yang bagaimana yang harus diterapkan dalam sistem hidup, hingga kita tidak lagi mengalami “Dark Age” seperti yang sudah terjadi dahulu?



Akar Pluralisme Religius Populer


Dalam tahap keyakinan, Pluralisme dapat dilacak dari pengalaman mistis para mistikus Agama. Hampir semua Mistikus memiliki pengalaman yang dikonsepsikan dalam sebuah kerangka berfikir. Dan karenanya, konsepsi pengalaman itu memiliki keberagaman antara satu Mistikus, dengan yang lainnya. Kita mengenal beberapa Mistikus seperti Al-Ghazali, Suhrawardi, Mulla Shadra, bahkan Rumi, memiliki Konsepsi tersendiri tentang bagaimana mereka bisa sampai kepada Yang Mutlak. Namun, sepanjang sejarah, perbedaan konsepsi ini bukan berarti perbedaan mendasar bagi keimanan masing-masing mereka. Sampai pada Abad ini, dimana Ilmu pengetahuan menjadi penentu segala kebenaran, perbedaan Konsepsi ini menjadi hal yang bersifat prinsipil dalam pandangan sebagian Teolog, dan karenanya menjadi wacana Hangat untuk di diskusikan.


Konsepsi Pluralisme religius, dalam sudut pandang pengalaman Mistis, pernah diajukan oleh salah seorang Teosofi terkemuka di Eropa. Yaitu, : John Hick[1]. Ia pernah mengajukan gagasan bahwa “Semua Agama besar itu, bagaimana pun juga merupakan ekspresi dari kebenaran yang sama, walaupun dipermukaan ada perbedaan-perbedaan”. Menurutnya, perbedaan itu didasarkan pada pencapaian realitas Tertinggi Yang tak terdefenisikan. Dia bahkan menggunakan contoh yang pernah dipakai oleh Rumi tentang

Kita semua bagaikan orang buta, dan ketika kita disuruh menyentuh gajah, kita akan memberikan defenisi yang berbeda-beda tentang apa itu gajah. Sebagian kita yang menyentuh ekor, akan mengatakan bahwa Gajah itu panjang, dan sebagian kita yang menyentuh kaki akan mengatakan gajah itu tinggi dan keras seperti Pohon.


Jika Rumi menggunakan Istilah ini dengan maksud menyatakan bahwa tak satu pun dari kita akan sampai kepada Allah kecuali melalui bimbingan seorang Mursyid, John Hick lebih memilih menggunakannya untuk membenarkan pengalaman Religius dari setiap Agama yang berbeda.[2]


Dengan begitu, dapatlah kita fahami bahwa pengalaman Religius saja tidak bisa menjadi landasan yang bisa dipercaya bagi sebuah Kebenaran. Ini karena sulitnya menemukan kesatuan Konsep yang mendasar untuk mendefenisikannya. Terlebih lagi, Islam bukan saja ikatan antara Manusia (secara Pribadi) dengan Tuhan. Islam melebihi dari itu semua, karena ia mengikat manusia dalam kesatuan persaudaraan.
Imam Ali berkata, “Tidak ada Islam tanpa sebuah Perkumpulan”.
Maka, selain dari pengalaman mistis yang bersifat personal, kita juga dapat melacak akar Pluralisme yang bersifat Comunal-Materialis.


Pluralisme: Penerimaan dan bukan Pengambilan



Untuk membedah bagaimana Pluralisme, ada baiknya terlebih dahulu membongkar akar permasalahannya. Yang harus diketahui oleh Masyarakat dunia hari ini, bahwa Pluralisme berawal dari Liberalisme Religius. Liberalisme Religius juga produk dari satu Ideologi Politik, yang hampir satu abad terakhir berkembang di Dataran Eropa. Sebagai suatu Ideologi Politik, amat sulit untuk mendefenisikan kata “Liberalisme”. Yang terpenting, jauh diatas defenisi, Liberalisme memiliki corak yang menjadi Khasnya tersendiri. Katakanlah orang-orang yang menganut faham ini,  selalu menekankan “pentingnya sikap Toleran, hak-hak Individu, dan pentingnya Pluralisme gaya hidup”.
Beberapa pakar politik yang disebut-sebut memiliki paham liberal diantaranya:
-      

Adam Smith (1723-1790)[3]
-      Thomas Paine (1737-1809)[4]
-      Benjamin Constant (1767-1830)[5]
-      James Madison (1751-1836)[6]


Dan beberapa orang yang penting dalam bidang Filsafatnya adalah John Stuart Mill (1806-1873)[7]. Rumit untuk menjelaskan pemahaman Kompleks tentang Figure Filsafat Liberal seperti Mill, yang terpenting, pemikiran Mill selain dipengaruhi oleh beberapa Tokoh, juga dituntut oleh Konteks Eropa yang memang sedang merasa perlunya kebebasan karena dampak Revolusi.


Kebebasan yang menjadi wacana hangat Renaisans Eropa merambat membenturkan diri dengan Agama. Hingga akhirnya, pada tahun 1881 Presiden Amerika Serikat dalam pidato pengukuhannya menjelaskan bahwa, “Tidak ada satu Organisasi Agama apa pun, yang diperbolehkan melakukan perampasan sekecil apa pun terhadap fungsi kekuasaan pemerintah Nasional”. Pernyataan ini berkenaan dengan boleh atau tidaknya Poligami oleh Rakyat Amerika Serikat.


Akhirnya, terjadi benturan yang amat keras antara “Kaum Fasis Kristiani” dengan “Kaum Liberal Kristiani”. Dan benturan ini dimenangkan oleh Kaum Liberal yang ditandai dengan pencantuman terma Toleransi, dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia. Dan dalam waktu yang sama, seluruh gereja-gereja katolik diseluruh dunia, masih saja mengutuk Kaum Yahudi yang berkhianat.
Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa Liberalisme Politik melahirkan Pluralisme, untuk menghapuskan intoleransi Religius yang telah lama berlangsung di dataran Eropa. Dengan begitu maka, seorang pemikir Iran Muhammad Legenhausen, memaknai Pluralisme sebagai “Hasil dari upaya pemberian landasan bagi teologi Kristiani agar toleran terhadap orang Non-Kristen”.[8] Lantas, mengapa kata Toleransi hari ini, lebih mencirikan orang-orang yang tidak berprinsip?. Sebenarnya kurang tepat mengatakan bahwa orang-orang Plural tidak memiliki prinsip yang kokoh. Bahkan tokoh Pluralisme Kristen yang paling terkemuka pun, meyakini kebenaran Agama nya sebagai kebenaran mutlak. Dan disaat yang sama,ia perlu tetap menyuarakan Pluralisme Religiusnya.
Nurcholish Madjid misalnya, hari ini difahami sebagai peletak dasar Pluralisme dalam dunia Islam Indonesia. Pernyataan ini kurang tepat, bila kita merujuk langsung kepada Defenisi Caknur tentang Apa itu Pluralisme:
Caknur berpendapat bahwa Plurallitas adalah Kebragaman, dan Pluralisme adalah kerelaan hati untuk menerima keberagaman itu.[9]
Dalam tinjauan defenisi Caknur diatas, dapat difahami bahwa Pluralisme yang diusung Caknur bukanlah Pluralisme yang membuat pengakuan “Bahwa semua Agama itu benar”, melainkan memberikan apresiasi kepada perbedaan dan menjaga kerukunan. Lebih lanjut, Pluralisme Caknur yang lebih bersifat Tradisional ini dapat dilihat dalam tinjauannya mengenai “Masyarakat Madani” yang benar-benar memiliki prinsip yang dibangun diatas pondasi Historiogarafi kehidupan Rasul periode Madinah.


Dan diakhir, penulis ingin berpesan bahwa menjadi rancu bila memaknai Pluralisme sebagai pengambilan sikap pembenaran terhadap seluruh prinsip keagamaan dan menyatakan terdapat keselamatan yang sama disetiap Agama. Karena tanpa pemaknaan yang seperti ini pun, peradaban Islam diketahui mampu memback-up permasalahan Pluralitas beragama selama 8 abad. Ini terbukti dengan kerukunan hidup Beragama pada Periode Madinah, Khulafa Ar-Rasyiddin, Dinasti Umayyah I, Umayyah II, Abbasiyah, dan Utsmaaniyah. Semuanya mampu memberikan keadilan kepada warga Negaranya yang secara Agama juga beragam.



[1]. Banyak buku-buku yang membahas tentang konsepsi berfikir John Hick. Seperti buku Menyingkap Kebenaran yang ditulis oleh adnan Aslan, atau buku terjemahan yang berjudul “Satu Agama atau Banyak Agama” yang ditulis oleh Muhammad Leagenhausen seorang teolog terkemuka dari Iran.
[2]. Satu Agama atau Banyak Agama. Hal.55
[3]. Lihat buku Satu Agama, atau Banyak Agama yang ditulis oleh pemikir Iran Dr. Muhammad Legenhausen. Karya ini btelah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Lentera. Hal. 22
[4]. Ibid
[5]. Ibid
[6]. Ibid
[7]. Pemikiran John Stuart Mill banyak dipengaruhi oleh Thomas Hobbes, John Locke, dan Immanuel Kant
[8]. Lihat satu Agama atau Banyak Agama Hal. 18
[9]. Dikutip dari Artikel yang berjudul “membedah Pluralisme Caknur”, yang terdapat di Website JIL