HIDUP YANG TAK BIASA
Kebanyakan orang—jika bukan semua—telah menjalani
hidup untuk dirinya sendiri; lahir, belajar, bekerja, tua, dan mati. Barangkali
rumusan seperti itu sudah diketahui hampir semua orang. Jika hidup dibangun
dengan kesungguhan, dan pada akhirnya kita akan mati, lantas untuk apa gerangan
kehidupan itu? Keadaan yang seperti ini diperparah dengan pengetahuan kita
tentang kematian, bahkan sebelum kematian itu datang.
Saya, dan kita semua mengetahui hukum-hukum moral
yang menjadi batasan bagi tindakan kita, melalui agama dan kitab sucinya. Para
Imam, guru-guru bijak, dan pendeta telah mengabarkan bahwa hidup akan segera
berakhir. Apa yang abadi tak lain adalah keabadian itu sendiri; barangkali
melebur ke dalam keabadian adalah pilihan yang terbaik. Jika tidak, maka segera
mungkin kita merasa enggan untuk hidup; toh pengakuan terhadap kefanaan adalah
keniscahyaan.
Puluhan, ratusan, ribuan, bahkan lebih dari 2/3
penduduk bumi setiap pagi akan bangun untuk mempersiapkan dirinya menghadapi
hari-hari yang segera mungkin akan berlalu. Beberapa beranjak dari tempat
tidurnya dan menuju ke kamar mandi, beberapa yang lain bermalas-malasan enggan
bangun pagi, dan menunggu panasnya matahari membakar punggung mereka, dan yang
lain bergegas untuk menghadapi hidup guna meraih keinginan-keinginan mereka.
Mereka yang pantas mendapat apresiasi adalah mereka
yang penuh semangat menghadapi hidup, dan yang bermalas-malasan, barangkali
hidup telah berakhir baginya. Mereka yang bersemangat akan bertindak sesuai
dengan batas-batas keinginan mereka, dengan acuan kemana hidup akan dibawa.
Sedang mereka yang bermalas-malasan, akan tetap mati ditengah hidup yang
benar-benar berwarna; ada dua kemungkinan untuk orang semacam ini: pertama, mereka
tak lebih dari mayat yang tidak benar-benar hidup. kedua, mereka adalah
orang-orang yang seluruh keinginannya telah tercapai.
Kita tak perlu mempersoalkan yang bermalas-malasan.
Baik yang pertama atau yang kedua, toh akan segera di-geser—baik dengan
baik-baik atau secara paksa—dari kehidupan.
Sedang mereka yang menghidupi seluruh diri dengan
kehidupan untuk mencapai keinginan mereka, akan melakukan banyak hal. Mereka
akan memberi warna diatas bumi. Mereka adalah pena-pena yang bergerak secara
teratur, untuk menulis diatas sebuah kertas yang memang sudah penuh warna.
Sialnya, pena-pena itu sama sekali tidak memberikan warna baru; mereka malah
mengeruk warna yang sudah ada, menghisap tinta-tinta semesta, dan tanpa sadar,
jika warna-warna itu selalu diambil oleh pena-pena yang dipenuhi keinginan,
barangkali pena-pena pun akan ikut punah bersama semesta.
Tapi tak jadi soal. Toh beberapa yang lain memiliki
keinginan untuk mengembalikan warna yang telah diambil saudara-saudaranya.
Mereka adalah orang-orang arif yang di saat diam pun telah memberi warna baru.
Ketika mereka berbicara, kata-katanya penuh makna; kata-kata akan segera
hilang, tapi makna dan pelajaran akan abadi.
Untuk para pejalan yang melintasi jalan hidup dengan
biasa, barangkali kata-kata seorang raja yang ditemui santiago (Tokoh utama
dalam cerita) sebelum kepergiannya akan
sangat membantu; “Jika kita benar-benar menginkan sesuatu, semesta akan
membantu kita untuk mewujudkannya”.
Paulo Coelho telah menyinari hati para pembacanya
dengan semangat universal yang telah lama disuarakan alam. Namun dia membuat
suara-suara yang tak dipahami semua orang, menjadi mungkin untuk dipahami. The
Alkemi, bercerita tentang bagaimana mewujudkan keinginan-keinginan kita di
dalam hidup. Walau diakhir, mungkin Santiago akan segera bertanya; “Apa yang
sebenarnya Aku inginkan?”.
Gembala Yang Menjadi Domba
Santiago adalah gembala yang ulet—sebagaimana kita,
telah menjalani kehidupan setekun mungkin. Ia memilih menjadi gembala karena
mencintai petualangan, kita pun tak berbeda; kita menginginkan hari demi hari
menjadi berbeda. Sayangnya, keinginan seperti itu telah didapatkan seorang
gembala, sedang kita yang bergaul dengan kursi dan meja, pena dan kertas,
mesin-mesin industri, gedung-gedung tinggi, hampir setiap hari, hidup terasa
sama.
Anak gembala itu berjalan menyusuri padang-padang
rumput, menjelajahi semua tempat yang mungkin dijelajahi untuk memberi makan
domba-dombanya. Ia berjalan sendiri—domba-domba bukan “Diri”—mengitari alam,
bersama semangatnya. Hingga suatu waktu, ia menemukan seorang gadis yang
jelita; anak dari seorang pembeli wol. Memang menjadi rutinitas gembala untuk
menjual wol yang mereka dapat dari ternak-ternaknya. Kita pun tak berbeda; kita
semua terbiasa memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis, untuk menyambung
kehidupan yang sebagian besar orang masih bertanya-tanya, Untuk apa
gerangan?
Santiago, merasa hidup telah berubah. Ia menemukan
kecantikan; bukan “Cantik yang biasa”. Segera mungkin bayang-bayang untuk
menetap disuatu tempat, hidup bahagia bersama gadis ini terlintas dikepalanya.
Ia membayangkan bagaimana jadinya kehidupan bila berteman jelita? Barangkali
hidup akan berbeda. Suatu waktu saat menjual wol nya, ia bercerita banyak
bersama gadis itu. Menceritakan hari-harinya yang luar biasa, petualangan tiada
akhir yang ia jalani, dan tentu saja menyembunyikan kepedihan-kepedihan yang
tak lagi pedih. Ia berharap gadis itu mau ikut berpetualang. Detik, menit, dan
jam-jam telah berlalu, Mentari akan segera menyinari sisi lain bumi, dan si
penjual wol memanggil anaknya masuk kerumah, sedang si gembala tak mampu
berbuat apa-apa selain membiarkan si gadis pergi memenuhi panggilan ayahnya.
Seperti biasa, setelah seharian penuh menjajahkan
kain wol yang secara sukarela diberikan domba kepadanya, ia pergi ke tempat
dimana domba-dombanya berada. Beristirahat dari kerja yang seharian penuh
merenggut umurnya.
**
Hampir setiap orang bernasib sama dengan Santiago;
berjalan diatas jalan kehidupan, dan terkubur diatas jalan yang sama. Pada
suatu malam, Santiago masih tak bisa tidur. Ia melihat domba-dombanya yang
sudah pulas. Ia sadar, esok hari ternaknya akan bangun diwaktu yang sama
seperti pagi tadi. Domba-domba, terbiasa dengan gembalanya; mereka akan bangun
sebagaimana gembala bangun.
Sebagaimana kita, Santiago pun memiliki masa lalu.
Ayahnya pernah bercerita tentang kastil-kastil mewah di negeri mereka,
perempuan-perempuan cantik, dan segala karunia yang telah ditempatkan ditanah
mereka. barangkali ayahnya ingin, Santiago bisa hidup bahagia dinegeri ini
suatu saat nanti. Tapi anak itu punya keinginan yang berbeda; ia ingin menjadi
petualang. Ia melihat orang-orang datang silih berganti, melihat negeri mereka
dengan segala kemegahannya; siapa yang tak kenal Spanyol dengan
kastil-kastilnya? Bahkan sebelum mesin dan gedung-gedung pencakar langit ada,
negeri itu sudah seperti langit. Ia merasa iri dengan mereka yang bisa melihat
tanahnya, sedang dirinya tak mampu melihat negeri orang-orang itu.
Santiago tidak lahir dari kalangan berada, ayahnya
mengatakan bahwa “dikalangan kita, hanya gembala yang biasa bepergian” dan
“Aku ingin menjadi gembala” katanya dengan yakin. Seorang ayah, hanya
bisa memenuhi ingin-ingin anaknya sesuai dengan kemampuannya. Hanya 3 koin emas
yang menjadi bekal Santiago, dan ia pun menjadi gembala.
Barangkali beberapa dari kita hanya memiliki bekal
minim untuk menjalani hidup. Tapi hidup tetap memaksa kita untuk berjalan;
bahkan jika kita tak berjalan, toh kehidupan akan terus berjalan. Sialnya, kita
berada di dalam roda kehidupan itu. Berputar bersama, bergerak ke arah mana kita
akan dibawa.
Santiago masih tak bisa memejamkan mata. Ia merasa
rindu dengan gadis kota itu. Tak apa Santiago... tidurlah! Sebentar lagi kau
akan bertemu dengannya.
**
Larut dalam kebiasaan—atau apa yang disebut Jostein
Garder dengan tenggelam dalam bulu-bulu kelinci yang nyaman—mungkin akan
membuat kita menjadi diri yang biasa. “Kita adalah apa yang kita perbuat” atau
“kita adalah apa yang biasa kita lakukan”; barangkali seperti itu. Setelah itu,
secara alamiah masyarakat akan memberikan “Cap” melalui ego mereka, dan tentu
saja kepada ego kita. “Anda seorang Nelayan” karena kita mengisi hidup dengan
memancing. “Anda seorang petani” karena kita mengisi hidup dengan bertani. Anda
seorang “Pelajar” karena kita mengisi hidup dengan belajar. Terlepas dari kebiasaan,
sebenarnya siapakah kita?
Santiago seorang pengembala yang menghabiskan hidup
mengembalakan domba-dombanya, tanpa sadar ia telah menjadi kawanan domba. Ia
hanya sekedar satu dari puluhan domba yang menempati posisi pimpinan domba. Ia
hanya satu dari sekian banyak domba yang terbiasa mengisi perut, membuangnya,
lalu tidur, dan pada akhirnya satu-persatu akan digeser dari kehidupan. Untuk
apa santiago ada? Sekedar untuk menjadi pimpinan domba?
Kita akan segera terhenyak ketika diberitahu tentang
perbendaharaan yang dipenuhi kekayaan. Setiap kita diciptakan untuk
menemukannya. Seorang anak gembala hampir tak percaya ada sesuatu yang seperti
itu. Ia menemui ahli perbintangan dan para peramal untuk mencari informasi
mengenai harta itu. Namun informasi yang diterima tak lebih dari sesuatu yang
lumrah telah diketahui. Jika hanya untuk informasi yang seperti itu, aku tak
perlu menemuimu. Begitu ucapnya kepada seorang peramal. Sebagaimana
Santiago, kita pun sering lupa bahwa harta yang paling berharga sering terletak
ditengah kesederhanaan.
Seorang Raja dari Salem lah yang telah membukakan
jalan baginya untuk menempuh perjalanan panjang menuju harta karun itu. Ia
membeli seluruh domba Santiago, dan uangnya adalah bekal awal untuk melakukan
perjalanan. Bukankah menjual domba adalah solusi yang pasti lebih dulu
dipikirkan Santiago ketimbang Raja itu?; pastinya seperti itu. Namun
ketakutan-ketakutan, pertanyaan-pertanyaan, dan serangkaian pikiran-pikiran
yang tak pantas untuk dipikirkan membuatnya enggan untuk mengambil langkah.
Seorang Raja lah yang membantunya melangkah.
Hati adalah Raja bagi diri yang ringkih. Ia
mengabarkan sesuatu yang layak didengar. Ia menundukkan kesombongan dibawah
pengetahuan. Hati, lebih dari seonggok daging memampukan kita untuk melangkah;
lebih dari sekedar memikirkan beberapa hal yang tak penting.
Keluar dari zona yang biasa, menuju dataran arab yang
keras. Ia menemukan hal-hal luar biasa ditengah jalan. Ketika sampai disebuah
kota, ia menanyakan perihal jalan untuk sampai ke mesir. Tapi kali ini
keberuntungan tak berpihak padanya. “Perampokan” yang telah menghabiskan
seluruh bekalnya; hambatan, atau sekedar persiapan?
**
JANGAN LUPAKAN PERBENDAHARAAN ITU!
Kita boleh melakukan koreksi atas perjalanan hidup
yang singkat ini. Bahkan kita lah yang paling berhak atas itu. Hambatan demi
hambatan telah mendatangi kita ditengah perjalanan, dan sialnya banyak dari
kita yang berhenti. Meninggalkan pencarian, dan merasa nyaman tinggal bersama
hambatan. Toh pada akhirnya pikiran kita beralih pada sesuatu yang dinilai
lebih penting. Lebih penting? Adakah yang lebih penting dari perbendaharaan
itu? Adakah yang lebih penting ketimbang jawaban atas tanya, “Mengapa aku diciptakan?”.
Seorang anak yang tersesat ditengah-tengah kesusahan
dengan sesuatu yang membebani hidup, harus tinggal disebuah daerah yang bahkan
bukan tanah kelahirannya. Bulan demi bulan berlalu, barangkali ia lupa apa
tujuannya datang kemari. Berpikir ini adalah tujuan? Mesir masih sungguh jauh
bukan?
Seorang pedagang memberinya makan, menghidupinya
dengan gaji yang tak kecil: tentu bukan tanpa alasan—pedagang itu sadar bahwa
Santiago datang dengan baju berkah. Kedatangan Santiago seiring dengan
bertambahnya rezeki si pedagang. Pendapatan meningkat, popularitas didepan
mata, kehidupan mendukungnya. Ini karena Santiago.
Hingga suatu hari si pedagang bercerita tentang
harapannya yang tak pernah tercapai; pergi ke mekkah, tanah suci yang
dikunjungi setiap Muslim di dunia ini. Santiago terhenyak, terbangun dari
tidurnya. Ia masih punya sejuta mimpi yang harus dijemput di mesir. Tak mudah
meyakinkan diri untuk melangkah—banyak suara yang didengar, banyak jeritan yang
keluar dari dalam diri. Apakah Santiago harus pulang ke andalus? Atau
melanjutkan perjalanan ke mesir?
Sekarang ia punya banyak uang seperti mula-mula
keberangkatannya. Tapi ingin-nya tak lagi sekuat dahulu. Waktu memakan habis
harapan, menjemput duka atas datangnya semu, membalut luka dengan darah yang
terus mengalir. Bukankah hidup selalu seperti itu?